24 April, 2025

Panca Buana News

Jendela Informasi Dunia Anda

RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah Perlu Partisipasi Publik untuk Tata Kelola yang Lebih Adil  

RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah Perlu Partisipasi Publik untuk Tata Kelola yang Lebih Adil  

Pancabuananews.com
Jakarta, 6 Maret 2025 – Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah) yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menyisakan sejumlah persoalan krusial. 

Sejumlah temuan menunjukkan adanya celah hukum, ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan aturan yang telah disusun, serta tata kelola haji dan umrah yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan. Oleh karena itu, Komisi VIII DPR perlu membuka ruang partisipasi publik agar masyarakat dapat memberikan masukan terhadap RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah ini.

Kami, Forum Haji dan Umrah Berkeadilan, sebagai wadah yang menghimpun peneliti dan praktisi di bidang haji dan umrah dari berbagai provinsi—Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Aceh—menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait tata kelola haji dan umrah serta pembahasan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Catatan ini merupakan hasil pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa persoalan utama yang kami temukan antara lain:

1. Tata Kelola Lembaga Pengelola Haji

Dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan haji di Indonesia ditangani oleh tiga lembaga, yakni Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara (BP) Haji, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Keberadaan tiga lembaga ini berpotensi memunculkan perebutan kewenangan (power struggle) dalam pengelolaan haji, yang pada akhirnya merugikan calon jemaah dan jemaah haji.

Selain itu, pengawasan terhadap pengelolaan haji menjadi semakin kompleks dan sulit dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Berulangnya permasalahan setiap tahun menunjukkan bahwa belum ada kejelasan mengenai satu lembaga yang bertanggung jawab secara penuh dalam penyelenggaraan ibadah haji.

2. Kuota Keberangkatan yang Tidak Adil

Penyelenggaraan haji tahun 2024 menghadapi masalah dalam pembagian kuota keberangkatan. Saat pemerintah memperoleh tambahan 20 ribu kuota jemaah haji, pembagiannya antara jemaah haji reguler dan khusus dilakukan secara merata. Padahal, calon jemaah haji reguler harus menunggu antrian puluhan tahun untuk dapat berangkat, sehingga kebijakan ini dinilai tidak adil.

Kuota haji juga bergantung pada kebijakan pemerintah Arab Saudi sebagai negara tujuan. Untuk tahun 2025, beredar informasi bahwa Arab Saudi akan membatasi usia jemaah haji.

Data Kemenag tahun 2022 mencatat bahwa calon jemaah haji berusia 80 tahun ke atas yang masih mengantri mencapai 44.489 orang.

Selain itu, dalam pemberangkatan haji 2024, ditemukan adanya jemaah haji khusus yang bisa berangkat tanpa antrian.

Dugaan kuat menunjukkan adanya praktik permainan antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan agen Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau travel haji.

3. Manajemen Keuangan yang Bermasalah

Meskipun Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) reguler tahun 2025 mengalami penurunan, sistem pengelolaan keuangan haji masih menuai kritik. Saat ini, dana yang digunakan untuk pemberangkatan haji bersumber dari setoran jemaah baru, bukan dari hasil investasi yang optimal. Dengan skema seperti ini, jemaah baru berisiko tidak dapat berangkat di kemudian hari jika terjadi ketidakseimbangan antara setoran dan pengeluaran.

Sistem keuangan haji yang tidak transparan juga menimbulkan dugaan adanya dana jemaah haji yang hilang, yang diduga menjadi penyebab ketidaksesuaian dalam alokasi kuota keberangkatan tahun 2024. Hingga kini, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) belum memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel terkait hal tersebut.

4. Pengadaan Akomodasi, Transportasi dan Konsumsi, serta Sumber Daya Manusia (SDM)

Setiap tahun, persoalan terkait akomodasi, transportasi, dan konsumsi jemaah haji terus terjadi tanpa perbaikan signifikan. Masalah yang berulang di antaranya:

1. Kelebihan kapasitas tenda dan sanitasi yang tidak layak; dan 2) Keterlambatan layanan transportasi dan distribusi konsumsi.

Dari aspek sumber daya manusia (SDM), ditemukan banyak Panitia Pendamping Ibadah Haji (PPIH) yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Tim Pengawas (Timwas) Haji bahkan melaporkan bahwa banyak pendamping yang tidak menjalankan fungsi sesuai standar, yang mengindikasikan adanya proses rekrutmen dan seleksi yang tidak sesuai kebutuhan.

Kondisi ini diperburuk oleh minimnya transparansi dalam proses pengadaan layanan haji, yang membuka celah bagi praktik korupsi.

Jika masalah ini terus berulang setiap tahun tanpa ada pembenahan, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk maladministrasi dan potensi korupsi dalam pengelolaan ibadah haji—sesuatu yang seharusnya tidak terjadi dalam pengelolaan ibadah suci umat Islam.

Dengan berbagai permasalahan yang terus berulang ini, Forum Haji dan Umrah Berkeadilan menegaskan bahwa RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

2 harus disusun dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan bagi seluruh calon jemaah haji. Kami mendesak:

1. DPR, khususnya Komisi VIII, untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah agar masyarakat dapat berkontribusi dalam penyusunan regulasi yang adil dan berpihak pada jemaah;

2. DPR dan Pemerintah wajib menyusun RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dengan orientasi utama pada penyelesaian antrean panjang keberangkatan jemaah haji, dengan memprioritaskan calon jemaah haji yang telah lanjut usia atau berpotensi mengalami keterlambatan keberangkatan karena usia;

3. RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus menghapus praktik rente bisnis yang menyebabkan biaya haji menjadi mahal, memastikan transparansi dalam pengadaan kontraktor layanan ibadah haji, serta menetapkan mekanisme sanksi yang tegas bagi pihak yang melakukan penyimpangan.

4. RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus mengedepankan konsep satu pintu dalam penyelenggaraan ibadah haji, di mana BP Haji menjadi penyelenggara tunggal dengan pengawasan dari dewan independen yang terdiri dari perwakilan masyarakat yang kompeten di bidangnya.

5. BPKH harus memberikan laporan keuangan yang transparan, akuntabel, dan mudah diakses oleh publik, guna menghindari polemik serta dugaan penyalahgunaan dana jemaah haji.

6. BP Haji sebagai penyelenggara tunggal wajib menyusun strategi pengelolaan aset haji untuk mengurangi beban biaya haji di masa mendatang dan memastikan keberlanjutan finansial dalam penyelenggaraan ibadah haji.

7. Perbaikan sistem perekrutan dan seleksi PPIH harus segera dilakukan, dengan memastikan kompetensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam prosesnya, sehingga pelayanan terhadap jemaah haji dapat lebih optimal.

Sebagai forum yang berkomitmen terhadap keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, kami akan terus mengawal kebijakan ini demi kepentingan umat dan keadilan bagi seluruh calon jemaah haji di Indonesia.

Daffa Batubara

Koordinator Forum Haji dan Umrah Berkeadilan

Kontak: 0819 9055 9010

( Red.)